Kamis, 01 September 2011

I am?? Not a perfect fairy


Butiran keras itu masih deras jatuh terurai ketika suasana berhambur memadu satu didalamnya. Dingin tak tertahankan lagi ketika semua hujan berkumpul jadi satu di senja gelap sore itu. Tak ada bintang malam ini. Berarti tak ada kebahagiaan yang kurasakan. Karena aku, penyuka kebahagiaan yang penuh dengan bintang. Namun dengan derasnya hujan saat ini membuat aku takut untuk keluar, untuk membuat suatu keputusan untuk meninggalkan masa lalu. Karena ketakutan ini selalu membayangi di setiap sunyi yang aku rasa tanpa dia. Tapi aku selalu melihat ke depan terus, kehilangan sebuah cinta tidak selamanya akan mematikan duniaku yang lain. Aku harus tetap semangat dan kuat demi masa depanku. Negeri yang penuh dengan bintang dan kebahagiaan aku siap untuk meraihnya kembali. Tanpa air mata tentunya.
          Hai.. Aku remaja kuat, aku suka menyebut diriku sendiri sebagai “si semangat”. Aku tau bahagia adalah impian setiap orang tentunya. Aku selalu berusaha sampai jungkir balik untuk mendapatkan apa yang memang aku pantas dapatkan dari rasa bahagia. Karena aku merasa aku dewasa, memiliki badan yang kekar, senyum dan tawa, juga hembusan nafas yang kuat penuh kesabaran. Cinta, kasih sayang, bahagia dan kenangan adalah sesuatu yang tak asing lagi dalam perjalananku. Seperti sekarang ini ...
          Aku selalu terjebak kedalam luapan masa lalu. Dia selalu menjerat setiap pikiranku dengan memori – memori pahit yang selalu terputar jernih di dalam DVD batinku. Selalu saja seperti ini. Rumit dan sulit melepaskan segala kenangan yang kini berstatus Sang Mantan-nya Nidji. Apa salahnya apabila aku atau kita bermimpi bahwa kemarin adalah mimpi kita untuk bisa selamanya bersama si dia. Selalu memiliki tawanya, semyumnya, dan semua kasih sayangnya. Seolah semua ini benar – benar terjadi esok dan kelak. Seperti halnya sebuah pohon yang selalu ingin terhangatkan oleh ranting – ranting berdaun lebat. Namun apa daya banyak angin yanng berhenbus dan satu persatu helaian hangat itu gugur tersapu oleh desiran angin yang selalu saja mengusik. Perjalanan suatu asmara di dalam kehidupan kita memang tidak akan bisa terurai begitu sana dengan tangis walaupun dengan goresan pena yang setia terhadap segala cerita yang tertulis. Getir.
          Dulu. Aku memiliki cinta, aku memiliki sayang, dan aku punya bahagia bersamanya. Dia. Mereka. Malaikat yang selalu menjanjikan aku kehangatan saat hujan yang kubenci, menjanjikan pelangi di tengah bintang malam, dan melafalkan bertrilyun kata – kata sayang, cinta, maaf. Aku percaya semua itu. Percaya sampai aku benar – benar mendapatkan apa yang aku inginkan. Satu bintang, satu kebahagiaan, dan satu kasih sayang dalam cinta. Aku ingin selalu ada difikirannya, di setiap kedipan matanya, dan di setiap hembusan nafas suci dari tubuhnya. Satu lagi, aku ingin selalu ada di hatinya. Itu tentu. Aku berharap sekali. Mekipun banyak orang beranggapan bahwa berharap itu menyakitkan. Aku tidak peduli. Aku yakin kekuatan cinta yang akan membentengi semua itu. Namun apakah salah kita menginginkan hal yang muluk seperti itu? Hey.. This is a dream world. Anything can be true above a dream. Aku mengulang kata – kata itu sampai tidak ada artinya lagi. Dan kecewa.
          Tapi mendung saat itu beda. Semua jadi semu ketika aku mengalami hal pertama kalinya dalam “LDR” Long Distance Relationship. Aku sampai tidak bisa mengeja kata “ Mudah “! Saat itu aku merasa seperti batang kayu yang lapuk yang tak ada harganya sama sekali. Karena kesepian, karena kebosanan, dan karena ketidak dianggapan selama ini. Lelah. Pasti. Tapi semakin aku menjadi – jadi megungkapkan semua itu. Semakin dia menyepelekan apa yang aku katakan. Enyahlah kata – kata cinta yang pernah terucap. Hempaslah semua harapan untuk setiap satuan yang aku inginkan. Bukankah sayang itu adalah rasa saling mengerti satu sama lain, rasa benci pada keegoisan, rasa memiliki dan rindu yang menggila ketika kita tidak dapat bertemu? Dan sakit. Luka. Perih. Dan entahlah apa itu aku sulit untuk mengatakannya. Bukan karena aku jatuh dari sepeda. Melainkan jatuh dari pesawat yang akan membawaku kebintang. Khayalan yang bagus ...
          Dan akupun terus bertahan di dalam rutan yang aneh. Bukan para napi korban korupsi atau apa. Melainkan para si semangat lainnya yang harus rela mematahkan sayapnya sendiri akibat kekecewaan yang amat sangat. Aku bisa melihat bagaimana di setiap butir halus yang menetes tapi bukan hujan. Simphonisme menjerit keras di kelas – kelas yang gelap. Mereka, dan aku, dengan segala keterbatasan daya selalu menangisi kapas putih yang telah terjaga sekian lama namun dia terhempas angin. Lagi. Aku tau mereka sudah tidak bisa terbang lagi dengan keputus asaan membawa sayapnya yang patah. Kasihan. Apa aku akan mengalami seperti itu? Kalau aku tidak mau? Bagaimana aku bisa protes dengan kenyataan ini? Aku bisa kok melepas setiap sisi sayap yang selama ini telah aku rajut dengan kasih sayang dan cintanya dengan ketidakmunafikan terhadap priorotas masa depan.
Fajar kini datang bersama suryanya. Menebar jejaring asa yang baru. Aku mulai mengikuti mereka. Satu, satu, satu sampai beratus – ratus air yang keluar dari mataku adalah hiburan diri yang, sadis. Sampai saat ini dia tak pernah datang. Bahkan untuk memberikan sedikit suaranya, sedikit sapaan kecil untuk menggugah senyumku kembali. Dan aku disini tetap dan masih sendiri. Kesepian. Tapi ini aku, memang bukan peri yang bisa menyulap air mata menjadi mutiara. Tapi aku adalah manusia biasa yang pernah menjadi bagian dari halaman emosi di hidup ini. Dan aku “masih” berusaha untuk menciptakan senyumku sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar